Diruang ini saya tidak
sendiri, ada delapan bangsal terisi penuh dengan mereka yang berada dalam nasib
yang sama tapi berbeda cerita satu dan lainnya. beberapa orang disampingnya setia
menjaga sanak keluarganya. Seperti halnya mereka, kiri kananku ada teman
sekamar dan ibu kost yang begitu care merelakan
waktunya untuk sekedar berjaga untukku.
Waktu terus berjalan,
jarum jam kian beradu langkah. Semua bertambah membosankan, ibukost-ku harus
pergi, bukan keinginannya hanya peraturan batas jam besuk yang memaksanya.
“Min, baiknya kamu juga pulang istirahat. Saya tidak apa-apa demamnya juga
sudah reda. Lagian ada perawat kan yang lalu lalang tiap saat disini” sambil
meyakinkan teman sekamarku itu.
Sambil menatap
langit-langit rumah sakit, pikiranku seakan pergi menerawang bebas. Pikiranku
tertuju padanya, dia yang sejak pertama kali berjumpa, mampu menggerakkan seisi
hati ini. Agggrh, *baga, baga, baga, baga…
cukup sampai disitu, teringat ucapan si gelas kaca ”berhenti memikirkan orang
yang belum tentu memikirkanmu”. Ditambah lagi sepertinya sekarang dia sedang
dekat dengan pria lain. Hanya menambah beban kepalaku yang sudah sakit dari
awal.
“Bukan laki-laki kalau gak
berkelahi”. Slogan yang mampu menyesatkan anak-anak yang sedang mencari jati
diri. Seperti ABG diluar sana jaman putih-biru, masanya untuk menjawab, siapa
saya? seperti terjebak dalam sebuah pusaran, hari itu terjadi pertikaian. Hanya
keegoisan yang tumbuh, melihat mereka yang berasal dari daerah lain
diintimidasi oleh anak-anak yang bertempat tinggal disekitaran sekolah.
Terik siang tepat diatas
kepala, sebagai tanda waktu untuk pulang anak kelas 3. Tapi ada yang menahanku
dihari itu, masih ingin lebih lama disini. Dia anak kelas 1 yang menjadi pusat perhatianku. Dari
atas tangga pandanganku tertuju tepat kearah depan kelasnya. Tapi yang ditunggu
tidak nampak. Sedikit kecewa kuptuskan untuk mengakhiri penantian bodoh ini,
tidak lama sesampainya dilantai dasar sekolah terlihat segerombolan anak kelas
3 berlarian membabi buta. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi sayapun
mengikuti mereka. Dalam kepanikan tak jelas itu, kakiku tersenggol seorang
teman dan,…. jatuh.
Waktu tetap memburu,
memaksa untuk tetap berlari. Pagar tinggi sekolah bukan jadi penghalang lagi ketika
kekuatan kepanikan telah aktif. “kenapa kita dikejar?”,tanyaku kebingungan. “Bentrok
lagi itu anak-anak, baru dikejar sama pak T****(guru paling killer di SMP)”. Jawab seorang teman. “Rob,
kenapa kepalamu?”, sambungnya. Diraihnya kepalaku dengan tangannya, dan saat
tangannya ia tarik, lumuran darah ada di jari-jarinya. Hhhh,… berusaha
mengingat kembali, ternyata itu darah akibat jatuh tadi disekolah. Luka dikanan
kepalaku itu, membuat rentan sakit bagian kepala. Dan harus pandai-pandai
menghindari -too much thinking and
tiredness.
ð… ð…ð… 1 new message, “Bgaimana keadaanmu nak? Ada yang temani
kan? Besok baru mama telpon yah krn sdh mlm skrg. Jgan byk pkiran. Itu mama
blg, bljar santai sja. Jgan pikirkan yg lain. yg smngat, lawan itu skit, byk
brdoa. ini satu rmah khawatir,...”. Untuk sesaat suara-suara itu penuhi ruang
dikepala. Satu persatu tombol kutekan,dan kuakhiri dengan -send- “Iya ma,
doakan sja.nnti jga baikkan ^ ̮ ^ ”.
…., Kemarin pun berlalu dan cahaya pagi jadi buktinya. “Dok,
bisa pulang kan?” tanyaku. “iya, obatnya jangan lupa di habiskan, jaga kondisi,
jangan terlalu kecapean dan banyak minum air mineral” balasnya. Suara datar itu,hanya
kubalas dengan anggukan dan sebuah senyuman”.
Time to explore, Robby!! Kembalikan
niatmu, lebih bersemangat. “yang kita butuhkan hanyalah ﷲ , dan udara untuk bernafas lalu tempat untuk sandarkan kepala”,...